Selasa, 02 September 2008

baca dan lakukan

PUASA TANPA MAKNA
Oleh: Aat Royhatudin*

Kesalehan dalam berbuat, kejujuran dalam bertindak memberikan makna sebenarnya kepada prilaku dan sikap individu. Perbedaan sikap yang ada pada individu dalam berbuat baik dan salah dengan sendirinya akan tampak ketika menahan dan menangguhkan kesalahan, kerakusan, ketamakan dan syahwati duniawi atau semisalnya.
Puasa merupakan proses ritualisasi rohani dengan segala ketundukannya dibarengi dengan kepatuhan jasmani terhadap persoalan-persoalan kehidupan duniawi dengan mendambakan harapan kebahagiaan ukhrawi. Kehidupan duniawi dan ukhrawi adalah kehidupan yang memiliki kepentingan masing-masing tanpa harus memaksakan kehendak pilihannya kepada pemilih, yakni manusia. Manusia yang memunyai hak sepenuhnya terhadap pilihan hidupnya termasuk kemana ia pasrahkan hidup sepenuhnya. Puasa sering diartikan sebagai prosesi kecintaan sang hamba melalui pelepasan dan penghancuran semua keinginan jasmani yang bersifat melawan aturan dan ketentuan Ilahi, lebih-lebih yang merusak kesucian ruhani yang dimulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Manusia sebagai pelaku utamanya sepenuhnya harus menjadi hamba dan sebaik-baiknya hamba. Hamba yang baik seperti budak yang siap bekerja dan dipekerjakan oleh tuannya tanpa mengharapkan imbalan dan apapun dari tuannya.

Puasa adalah hak individu
Dalam agama kita, puasa merupakan hak individu yang beriman untuk melakukannya dengan segala konsekwensinya dengan mempertanggungjawabkan segala pilihannya, kebebasan pilihannya ditentukan setelah adanya komitmen yang dipegangnya, tentunya melalui prosesi segala kepercayaaan yang diyakninya. Kepercayaan yang diyakininya akibat penerimaan secara pasrah sebagai hamba dan siap menjadi hamba. Menjadi hamba tidak dipaksa, menjadi beriman dengan sendirinya sudah memasuki wilayah regulasi yang yang mesti disepakati. Aturan yang disepakati dan janji yang dilanggar yang mengetahui adalah hamba dan Tuhannya. Semakin hamba mengerti akan aturan semakin terbukalah pengetahuan hamba terhadap kesucian, semakin tidak mengerti dan memang tidak mau mengerti berarti semakin sempit ruang gerak terhadap dan jauh dari kesucian. Baik kesucian untuk mensucikan ruhaninya maupun asumsi kesucian terhadap yang mahasuci.
Hak individu untuk berpuasa, begitu pula tidak. Karena berpuasa atau tidaknya adalah salah satu manifestasi kecintaan dan ketidakcintaan hamba sebagai dirinya kepada Tuhannya. Tuhan tidak memiliki kepentingan sedikitpun terhadap hambanya, ketika hamba harus menahan lapar, haus dahaga, begitupun sebaliknya tidak puasapun bagi Tuhan tidak merasa dirugikan, persoalan puasa adalah kepentingan hamba sebagai individu untuk melatih jiwa agar senantiasa selalu dekat sedekat urat nadi dengan kulitnya.

pengalaman ruhani
Untuk mengetahui antara iman abstrak dan tingkah laku atau amal perbuatan yang konkrit diperlukan ibadah. Puasa salah satu ibadah yang memilki makna intrinsik yang dekat sekali dengan Tuhan. Dalam ibadah ini seorang hamba merasakan kehampiran spiritual kepada khaliknya. Pengalaman ruhani adalah hal yang dianggap sebagai inti rasa keagamaan dan religiutas. Dalam paradigma kaum sufi, memiliki tingkat keabsahan yang tertinggi, bahkan kaum sufi cenderung memandang rasa keagamaan harus berdimensi esoteris (bathiniyah), dengan menegasikan bahwa setiap tingkah laku eksoteris (lahiriah) absah jika mengantarkan seseorang atau hamba kepada tingkah laku eksoteris ini. Seerti halnya kaum sufi kita sebagai manusia biasa (awam) tingkah laku eksoteris dikatakan absah jika tercermin pada tingkah laku sosial.


Puasa bukan hanya sekedar ibadah intrinsik yang berdimesi esoteris antara pengalaman ruhani dan penghambaan pribadi, namun puasa mengandung makna instrumental, karena puasa dilihatsebagai usaha pendidikan pribadi ke arah komitmen atau pengikatan batin kepada tingkah laku yang bermoral.
Asumsinya dengan puasa seseorang yang beriman memupuk dan menumbuhkan kesadaran individual dan kolektif terhadap tugas-tugas pribadi dan sosialnya yang mewujudkan kehidupan bersama sebaik-baiknya di dunia.
Puasa sebagai wujud sosial berawal dari keinsyafan yang mendalam terhadap pertanggungjawaban semua pekerjaan kelak di hadapan Tuhan. Substansi dari pencapaian makna puasa mencapai puncak tertinggi yang berakhir pada kebahagiaan mutlak, karena sebulan lamanya pertempuran esoteris dengan eksoteris berlaga. Di situ seorang hamba tampil sebagai individu dalam seginya sebagai hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya.
Puasa menumbuhkan sikap sosial tergambar pada kesadaran kolektif dimulai sebelum kita menunaikan puasa, malam harinya tarawih bersama. Ibadah semisal ini dapat menjadi instrumen pendidikan moral dan etik yang amat mendalam dan efektif. diungkapkan dalam firman Tuhan bahwa salah satu efek terpenting dalam ibadah ialah tumbuhnya rasa solidaritas sosial, tanpa tumbuhnya solidaritas sosial ibadah bukan sia-sia atau tanpa makna, melainkan tidak membawa keselamatan bahkan dikutuk oleh Tuhan.
Kesadaran kolektif pula diakhiri dengan mengeluarkan zakat fitrah dengan waktu sebelum khatib idul fitri naik mimbar, sebagai pernyataan pribadi kepada Tuhan yang memiliki makna solidaritas sosial.
Akhirnya, substansi puasa adalah hak individu untuk merahasiakan kepentingan dirinya dengan Tuhannya. Kerahasiaannya terletak pada sumber dan hikmahnya, yang keruhanian itu sendiri terkait erat dengan makna keikhlasan dan ketulusan. Perbedaan yang tulus dan palsu tergambar pada seteguk air yang dicuri minum oleh seorang dalam kesendirian.
Puasa tanpa makna adalah kesadaran yang tidak siap adanya Tuhan yang maha hadir dan dan yang maha mutlak yang tidak mengindahkan sedikitpun terhadap pengawasan-Nya. Puasa bermakna adalah penghayatan yang nyata yang ditanamkan dengan membentuk rasa tanggungjawab baik pribadi maupun sosial. Dalam hadis qudsi diterangkan” semua amal seorang anak Adam adalah untuk dirinya kecuali puasa, sebab puasa itu adalah untuk-Ku dan akulah yang memberinya pahala. Mari kita berpuasa, dengan sebaik-baiknya berpuasa agar puasa kita bermakna.
Selamat menunaikan ibadah puasa!

*Penulis adalah sekjend BLC (Banten Learning Center)
dan santri Ponpes annizhomiyyah

Tulisan ini dimuat di koran harian Fajar Banten
pada hari jum'at tanggal 12 September 2008

Tidak ada komentar: