Minggu, 28 September 2008

PESAN ILAHI

MENJADI MANUSIA YANG FITRI
Oleh: Aat Royhatudin*

Sukalah memaafkan, dan anjurkan orang berbuat baik,
berpalinglah dari orang yang jahil (Q.S.Al A’raf:199)
Kalimat semisal itu yang tepat bukan hanya dipesankan pada hari I’dul Fitri saja namun untuk seterusnya.
Di hari fitri manusia bagaikan burung-burung merpati yang berhamburan ke sana- ke mari, menghirup udara bebas, lepas tanpa batas. Deskripisi seperti inilah tradisi idul fitri yang dikenal dengan hari lebaran, menyambut kemenangan, bersalaman dengan sanak famili dan handai taulan. Kemenangan memiliki makna profan (bersifat duniawi) ketika manusia menahan haus, lapar, dahaga dan jima’(bersetubuh). Kemenangan pula memunyai makna substantif manakala manusia sudah melepaskan kedalaman alam materialistik, karena sebulan lamanya melalui pertempuran sengit dengan menahan hawa nafsu, menghancurkan rasa keegoan, menolak bujuk rayu syetan yang telah lama mengejawantahkan dalam peradaban dan budaya materialistik, semakin dekat dan akrab dengan kehidupan syetan, maka semakin cepat memperlebar proses kejatuhan dan berada dalam kenistaan. Namun sebaliknya orang yang mata hatinya terbuka akan kebenaran spiritual, dan semua panca inderanya terbiasa mendengarkan pesan-pesan ketuhanan, maka dengan sendirinya akan terselamatkan dari kekotoran nafsu hewani, sehingga jiwa raga dan ruhani jasmani berupaya mengembangkan sayap menuju alam malaikat, alam yang bersih, suci senantiasa menasbihkan Tuhan.

Perlahan mulai menapaki keindahan, menaiki tahta kemegahan dan menjajaki kesenangan sejati merupakan sumber kesempurnaan tanpa batas, dengan kata lain mereka yang bahagia dengan kesempurnaannya sedang berjalan menapaki lintasan Tuhan dan memiliki beberapa kebahagiaan, seperti kebahagiaan bertemu dengan Tuhan dan seperti bayi suci yang dilahirkan melalui hari kemenangan yaitu lebaran.


Penciptaan karakter
Menuju Tuhan mesti berbekal kesalehan, apalagi bertemu Tuhan membutuhkan proses perjalanan panjang, namun harapan menuju Tuhan (Allah) adalah keniscayaan bagi manusia yang beriman karena sudah berada dan menapaki jejak sifat-sifat Tuhan. Menuju Tuhan bukan hal yang mudah namun juga tidak mudah. Karena Tuhan sudah berjanji dalam firmannya”Aku semakin dekat apabila hamba itu dekat maka aku semakin jauh disebabkan hamba merasa tidak butuh. Dalam mencapai tujuan untuk bertemu Tuhan dibutuhkan sebuah penciptaan karakter individual sehingga kata fitri itu terdefenisikan menjadi suci, dan benar-benar dalam keadaan suci, yang lebih penting adalah pengaktualisasian ke depan nanti menjadi suci yang terkumpul , menjadi kebiasaan yang terkoordinasi, apa yang kita pikirkan, rasakan dan kerjakan bisa terlaksana pada rel kefitri-an. Karena hakikat fitri bukan hanya pada kata semata, melainkan diperlukan suatu metode atau cara menuju Tuhan. Penciptaan karakter inilah yang membawa kepada posisi karakter individual yang suci.

Dalam hal ini penciptaan karakter dalam posisi fitri (kesucian) umumnya mengalami kesulitan untuk dilakukan namun tidak juga sulit kalau dibiasakan, dikatakan oleh Stephen R Covey, tentang penciptaan karakter ”taburlah gagasan, petiklah perbuatan, taburlah perbuatan, petiklah kebiasaan, taburlah kebiasaan, petiklah nasib” perkataan ini dikaitkan dengan hari fitri semata-mata untuk membangun karakter yang fitri karena untuk menjadi karakter yang fitri tidak cukup dengan hanya berjabat tangan, bersalaman saling memaafkan yang pada realitasnya hanya sebagai simbolisasi instant pada saat hati, badan, jiwa dan raga merasa senang saja, dan biasanya tidak untuk hari-hari seterusnya. Namun daripada itu untuk menjadikan karakter yang fitri dibutuhkan sebuah mekanisme pelatihan untuk selalu berbuat baik sehingga menjadi terarah kebaikannya dan terus berkesinambungan.

Mengembalikan makna fitri
Kembali kepada fitrah kadang kala diintrepretasikan kembali pada keadaan normal, hidup manusia yang tercukupi secara seimbang dalam kehidupan jasmani dan ruhaninya. Sementara kata fithrah oleh Dawam Raharjo dalam ensiklopedi, dimaknai `yang mula-mula diciptakan Allah SWT`. Ditarik kepada persoalan fitrah manusia, Allah SWT berfirman dalam Alquran: “Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu?
Mereka (anak Adam) menjawab:”Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (QS. Al A`râf: 172).” Ayat ini menjelaskan bahwa semua manusia pada firtahnya memiliki ikatan primordial yang berupa pengakuan terhadap ketuhanan Allah SWT. Dipertegas oleh Rosulullah melalui sabdanya: “Setiap anak Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah: kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi (HR. Bukhari).” Artinya ini mengindikasikan pada kesaksian atau pengakuan seluruh manusia, pada realitasnya ingin mendambakan kesucian diri (karakter yang fitri) dari Yang Maha Suci.

Menjadi siapa dan di mana berasal, yang berdimensi eksoterik (lahiriah) sesuatu yang dianggap tidak penting, karena kepentingan Tuhan terlalu naif apabila disandarkan pada hal-hal yang bersifat eksoterik dan simbolik. Tuhan dengan kemaha-anNya tidak pernah memiliki kepentingan apapun terhadap makhlukNya, bagaimana manusia ingin menjadi karakter yang fitri, atau menjadi suci, sekalipun malaikat bahkan Nabi. Namun kemaha-an yang dimiliki Tuhan harus diraih bahkan direbut dari-Nya melalui cara dan mekanisme yang tepat agar keiradat-an (maha kehendak-Nya) bertemu dengan keinginan dan cita-cita kita, sebagai manusia, khususnya menjadi manusia yang fitri

Keadaan fitri di hari fitri merupakan kesempurnaan sebagai makhluk yang tidak sempurna. Untuk memanfaat kesempurnaannya di hari yang fitri, ada upaya yang mesti dilakukan. Pertama, harus sudah dimulai dari puasa, yang efeknya menghancurkan pribadi yang buruk menuju pribadi yang saleh sehingga menghasilkan predikat ketaqwaan. Kedua, harus bersikap sosial-horizontal yang mampu mensinergikan prilaku-prilaku individual dengan memahami sikap sosial melalui manifestasi zakat fitrah, imbasnya untuk meremukan sikap kerdil dan kikir menjadi pribadi luhur, peduli dan berbagi. Katiga, menjadi peminta maaf bukan hanya diwujudkan sebagai pribadi yang salah, lebih dari itu harus ada muatan niat yang baik untuk tidak mengulangi kesalahan lebih-lebih kepada Tuhan. Disuguhkan kata maaf ketika lebaran salah satu tradisi universal yang tidak menciptakan kepribadian yang tulus dan ikhlas, karena kata maaf hanya diucapkan ketika salah dan lebaran. Padahal pesan dan perannya untuk diteruskan secara berkesinambungan. Dengan meminta maaf yang berkesinambungan merupakan penghancuran keegoaan dan tidak pernah menisbahkan menjadi pribadi yang paling benar. Keempat, pemberi maaf dalam tradisi dan alamiahnya sebagai obyek yang merasa terzalimi, dan begitu baiknya menjadi pemberi maaf karena terzalimi sehingga menghapuskan rasa dendam, keegoan dan menganggap dirinya tidak pernah berbuat salah, namun yang lebih baik lagi menjadi pemberi maaf yang sejati tanpa adanya kepentingan dan mengharapkan sesuatu apapun, layaknya Tuhan sang maha pemberi maaf (Maha Pengampun)

Menjadi fitri sebagai bukti manusia yang berbuat baik, mencintai dan membentuk karakter yang saleh yang diharapkan membawa perubahan yang berperadaban dengan tujuan menjadi manusia yang fitri

Ucapan Rosulullah mengiringi ”Kullu ’Aamin wa Antum Bikhair”. Diintrepretasikan ”Berbuatlah baik secara terus menerus dan tidak hanya untuk setiap tahun” Minal ’Aidin wal Faizin, mohon dimaafkan lahir dan bathin

tulisan ini telah dimuat di koran harian umum fajar banten edisi 6 Oktober 2008
*Penulis adalah sekjend BLC (Banten Learning Center)
dan santri Ponpes Annizhomiyyah

Selasa, 02 September 2008

baca dan lakukan

PUASA TANPA MAKNA
Oleh: Aat Royhatudin*

Kesalehan dalam berbuat, kejujuran dalam bertindak memberikan makna sebenarnya kepada prilaku dan sikap individu. Perbedaan sikap yang ada pada individu dalam berbuat baik dan salah dengan sendirinya akan tampak ketika menahan dan menangguhkan kesalahan, kerakusan, ketamakan dan syahwati duniawi atau semisalnya.
Puasa merupakan proses ritualisasi rohani dengan segala ketundukannya dibarengi dengan kepatuhan jasmani terhadap persoalan-persoalan kehidupan duniawi dengan mendambakan harapan kebahagiaan ukhrawi. Kehidupan duniawi dan ukhrawi adalah kehidupan yang memiliki kepentingan masing-masing tanpa harus memaksakan kehendak pilihannya kepada pemilih, yakni manusia. Manusia yang memunyai hak sepenuhnya terhadap pilihan hidupnya termasuk kemana ia pasrahkan hidup sepenuhnya. Puasa sering diartikan sebagai prosesi kecintaan sang hamba melalui pelepasan dan penghancuran semua keinginan jasmani yang bersifat melawan aturan dan ketentuan Ilahi, lebih-lebih yang merusak kesucian ruhani yang dimulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Manusia sebagai pelaku utamanya sepenuhnya harus menjadi hamba dan sebaik-baiknya hamba. Hamba yang baik seperti budak yang siap bekerja dan dipekerjakan oleh tuannya tanpa mengharapkan imbalan dan apapun dari tuannya.

Puasa adalah hak individu
Dalam agama kita, puasa merupakan hak individu yang beriman untuk melakukannya dengan segala konsekwensinya dengan mempertanggungjawabkan segala pilihannya, kebebasan pilihannya ditentukan setelah adanya komitmen yang dipegangnya, tentunya melalui prosesi segala kepercayaaan yang diyakninya. Kepercayaan yang diyakininya akibat penerimaan secara pasrah sebagai hamba dan siap menjadi hamba. Menjadi hamba tidak dipaksa, menjadi beriman dengan sendirinya sudah memasuki wilayah regulasi yang yang mesti disepakati. Aturan yang disepakati dan janji yang dilanggar yang mengetahui adalah hamba dan Tuhannya. Semakin hamba mengerti akan aturan semakin terbukalah pengetahuan hamba terhadap kesucian, semakin tidak mengerti dan memang tidak mau mengerti berarti semakin sempit ruang gerak terhadap dan jauh dari kesucian. Baik kesucian untuk mensucikan ruhaninya maupun asumsi kesucian terhadap yang mahasuci.
Hak individu untuk berpuasa, begitu pula tidak. Karena berpuasa atau tidaknya adalah salah satu manifestasi kecintaan dan ketidakcintaan hamba sebagai dirinya kepada Tuhannya. Tuhan tidak memiliki kepentingan sedikitpun terhadap hambanya, ketika hamba harus menahan lapar, haus dahaga, begitupun sebaliknya tidak puasapun bagi Tuhan tidak merasa dirugikan, persoalan puasa adalah kepentingan hamba sebagai individu untuk melatih jiwa agar senantiasa selalu dekat sedekat urat nadi dengan kulitnya.

pengalaman ruhani
Untuk mengetahui antara iman abstrak dan tingkah laku atau amal perbuatan yang konkrit diperlukan ibadah. Puasa salah satu ibadah yang memilki makna intrinsik yang dekat sekali dengan Tuhan. Dalam ibadah ini seorang hamba merasakan kehampiran spiritual kepada khaliknya. Pengalaman ruhani adalah hal yang dianggap sebagai inti rasa keagamaan dan religiutas. Dalam paradigma kaum sufi, memiliki tingkat keabsahan yang tertinggi, bahkan kaum sufi cenderung memandang rasa keagamaan harus berdimensi esoteris (bathiniyah), dengan menegasikan bahwa setiap tingkah laku eksoteris (lahiriah) absah jika mengantarkan seseorang atau hamba kepada tingkah laku eksoteris ini. Seerti halnya kaum sufi kita sebagai manusia biasa (awam) tingkah laku eksoteris dikatakan absah jika tercermin pada tingkah laku sosial.


Puasa bukan hanya sekedar ibadah intrinsik yang berdimesi esoteris antara pengalaman ruhani dan penghambaan pribadi, namun puasa mengandung makna instrumental, karena puasa dilihatsebagai usaha pendidikan pribadi ke arah komitmen atau pengikatan batin kepada tingkah laku yang bermoral.
Asumsinya dengan puasa seseorang yang beriman memupuk dan menumbuhkan kesadaran individual dan kolektif terhadap tugas-tugas pribadi dan sosialnya yang mewujudkan kehidupan bersama sebaik-baiknya di dunia.
Puasa sebagai wujud sosial berawal dari keinsyafan yang mendalam terhadap pertanggungjawaban semua pekerjaan kelak di hadapan Tuhan. Substansi dari pencapaian makna puasa mencapai puncak tertinggi yang berakhir pada kebahagiaan mutlak, karena sebulan lamanya pertempuran esoteris dengan eksoteris berlaga. Di situ seorang hamba tampil sebagai individu dalam seginya sebagai hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya.
Puasa menumbuhkan sikap sosial tergambar pada kesadaran kolektif dimulai sebelum kita menunaikan puasa, malam harinya tarawih bersama. Ibadah semisal ini dapat menjadi instrumen pendidikan moral dan etik yang amat mendalam dan efektif. diungkapkan dalam firman Tuhan bahwa salah satu efek terpenting dalam ibadah ialah tumbuhnya rasa solidaritas sosial, tanpa tumbuhnya solidaritas sosial ibadah bukan sia-sia atau tanpa makna, melainkan tidak membawa keselamatan bahkan dikutuk oleh Tuhan.
Kesadaran kolektif pula diakhiri dengan mengeluarkan zakat fitrah dengan waktu sebelum khatib idul fitri naik mimbar, sebagai pernyataan pribadi kepada Tuhan yang memiliki makna solidaritas sosial.
Akhirnya, substansi puasa adalah hak individu untuk merahasiakan kepentingan dirinya dengan Tuhannya. Kerahasiaannya terletak pada sumber dan hikmahnya, yang keruhanian itu sendiri terkait erat dengan makna keikhlasan dan ketulusan. Perbedaan yang tulus dan palsu tergambar pada seteguk air yang dicuri minum oleh seorang dalam kesendirian.
Puasa tanpa makna adalah kesadaran yang tidak siap adanya Tuhan yang maha hadir dan dan yang maha mutlak yang tidak mengindahkan sedikitpun terhadap pengawasan-Nya. Puasa bermakna adalah penghayatan yang nyata yang ditanamkan dengan membentuk rasa tanggungjawab baik pribadi maupun sosial. Dalam hadis qudsi diterangkan” semua amal seorang anak Adam adalah untuk dirinya kecuali puasa, sebab puasa itu adalah untuk-Ku dan akulah yang memberinya pahala. Mari kita berpuasa, dengan sebaik-baiknya berpuasa agar puasa kita bermakna.
Selamat menunaikan ibadah puasa!

*Penulis adalah sekjend BLC (Banten Learning Center)
dan santri Ponpes annizhomiyyah

Tulisan ini dimuat di koran harian Fajar Banten
pada hari jum'at tanggal 12 September 2008